Secara bahasa (etimologi), riba dalam bahasa Arab bermakna kelebihan atau tambahan (az-ziyadah). Kelebihan atau tambahan ini konteksnya umum, yaitu semua tambahan terhadap pokok utang dan harta. Untuk membedakan riba dengan tambahan keuntungan dari jual beli, pokok utang dan harta (ra’sul mal) ini sendiri lantas dibagi menjadi dua, yaitu: ribhun (laba) dan riba.  

Ribhun (laba) didapatkan dari muamalah jual beli yang hukumnya halal. Sedangkan riba adalah hasil dari adanya syarat tambahan pada kegiatan utang-piutang barang (kredit) yang waktu akhir pelunasannya tidak tentu. Secara makna istilah (terminologi) riba adalah kelebihan atau tambahan dalam pembayaran utang-piutang yang disyaratkan sebelumnya oleh salah satu pihak. 

Hukum riba Pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2):275, Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Oleh karenanya, riba di dalam Islam hukumnya haram. Ada banyak efek negatif dari riba yang dipraktikkan selama ini dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, agama samawi semuanya melarang praktik riba. Mendapatkan keuntungan dari riba dapat menghilangkan sikap tolong menolong, memicu permusuhan, dan sangat menyusahkan apabila pemberi riba menentukan bunga yang sangat tinggi. 

Dalam salah satu haditsnya,  Rasulullahﷺ bersabda: “Dari Jabir Ra., ia berkata: ‘Rasulullahﷺ telah melaknat orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya)’, Nabi bersabda, ‘mereka itu semua sama saja’” (HR. Muttafaq Alaih). Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram, serta Islam tidak memperkenankan hal itu dipraktikkan dalam muamalah. Riba adalah usaha mencari rezeki yang tidak dibenarkan serta dibenci Allah Subhanahu wata’ala.

Jenis Riba

Dalam ilmu fiqih, terdapat tiga (3) jenis riba, antara lain sebagai berikut:

1. Riba Fadl

Riba Fadl atau disebut juga riba buyu’, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memerlukan kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in), dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar atau ketidakjelasan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipetukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua belah pihak, dan pihak-pihak lainnya.

“Dari Abu Sid al-Khudri ra, Rasulullahﷺ bersabda: ‘Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan, dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; gandum dengan gandum harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; kurma dengan kurma harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba’” (HR Muslim).

2. Riba Nasiah

Riba nasiah atau disebut juga riba duyun adalah riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi  kriteria untung muncul bersama dengan risiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharja bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Nasiah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Dalam hal ini dapat terjadi riba nasiah akibat dari perubahan sesuatu yang seharusnya bersifat tidak pasti (uncertain) menjadi pasti (certain). Jadi tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan secara syariah atas penambahan tersebut disebut riba.

3. Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba ini dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah di setiap pinjaman yang mengambil manfaat dan memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru’), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis (tijarrah). Jadi transaksi yang semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi bisnis.

 

Referensi

Photo by Cytonn Photography: https://www.pexels.com/photo/two-person-in-long-sleeved-shirt-shakehand-955395/

As-Sarakhsi, M. (n.d.). Juz 12. In Al-Mabsut.

Karim, A. (2008). Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan. RajaGrafindo Persada.

Syamsudin, M. (2020, January 9). Perbedaan Riba dan Jual Beli Kredit dalam Fiqih Muamalah. NU Online. Retrieved November 16, 2023, from https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/perbedaan-riba-dan-jual-beli-kredit-dalam-fiqih-muamalah-EtzO6